October 2025

Pinjol untuk Biaya Kuliah: Antara Kebutuhan dan Jeratan Riba

Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan pinjaman online (pinjol) untuk membayar biaya kuliah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Di tengah meningkatnya biaya pendidikan, banyak mahasiswa mencari jalan pintas untuk menutupi kekurangan dana. Proses pengajuan yang cepat, syarat yang mudah, dan dana yang segera cair membuat pinjol tampak seperti solusi praktis. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi konsekuensi berat — bukan hanya secara finansial, tapi juga secara moral, spiritual, dan hukum Islam. Sebab, sebagian besar pinjol menerapkan bunga yang termasuk dalam kategori riba, suatu praktik yang secara tegas diharamkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tulisan ini akan mengulas fenomena pinjol untuk biaya kuliah dari sudut pandang ekonomi syariah, membahas hukum Islam terhadap pinjaman berbunga, serta memberikan alternatif solusi halal bagi para pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan bantuan dana pendidikan. 1. Fenomena Pinjol di Kalangan Mahasiswa Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa hingga tahun 2024, jumlah pengguna aktif layanan pinjaman online di Indonesia mencapai lebih dari 48 juta akun. Dari jumlah itu, kelompok usia 21–30 tahun menempati posisi terbesar. Ini menunjukkan bahwa generasi muda, termasuk mahasiswa, menjadi target utama layanan pinjaman digital. Motif utamanya beragam: Biaya kuliah dan kebutuhan akademik, Pembelian laptop atau perangkat belajar, Biaya kos, transportasi, dan konsumsi, Bahkan kebutuhan gaya hidup. Kemudahan memperoleh pinjaman tanpa jaminan sering kali membuat mahasiswa terjebak. Mereka tidak menyadari bunga tinggi yang dikenakan, hingga akhirnya kesulitan membayar. Dalam banyak kasus, utang pinjol justru menumpuk karena denda keterlambatan yang terus bertambah — kondisi yang memperparah beban psikologis dan moral. Fenomena ini juga menyingkap lemahnya literasi keuangan syariah di kalangan muda. Mereka paham pentingnya menuntut ilmu, tetapi belum memahami prinsip mencari biaya dengan cara halal dan bebas dari praktik riba. 2. Islam Mengakui Kebutuhan, Tapi Menolak Riba Islam adalah agama yang realistis dan penuh kasih. Syariat tidak menutup mata terhadap kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan akan pendidikan. Dalam kerangka maqashid syariah, menjaga akal (hifzh al-‘aql) adalah salah satu tujuan utama, dan pendidikan merupakan sarana untuk mencapainya. Namun demikian, Islam juga sangat tegas dalam menjaga harta (hifzh al-mal) agar tidak tercemar oleh praktik haram. Itulah sebabnya, meskipun pendidikan penting, cara mendapatkan dananya tetap harus halal. Allah SWT berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. Al-Baqarah: 275) Ayat ini menjadi dasar utama larangan riba dalam Islam. Tambahan sekecil apapun yang disyaratkan dalam transaksi utang-piutang termasuk dalam kategori riba. Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksinya.”(HR. Muslim, no. 1598) Dari hadits ini, jelas bahwa semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba mendapatkan dosa, meskipun niatnya bukan mencari keuntungan, melainkan karena kebutuhan. Maka, meminjam uang untuk kuliah dengan bunga tetap tidak diperbolehkan. 3. Jenis dan Analisis Pinjaman Online dalam Perspektif Syariah Secara umum, layanan pinjaman online dapat dibedakan menjadi dua kategori utama: a. Pinjol Konvensional Pinjol konvensional mengenakan bunga atau biaya tambahan tetap yang dihitung berdasarkan persentase dan waktu. Misalnya, pinjaman Rp2 juta harus dikembalikan Rp2,400 juta dalam 30 hari. Tambahan Rp400 ribu itulah yang termasuk riba nasi’ah, yaitu tambahan karena penundaan pembayaran. Walaupun disebut “biaya administrasi”, jika nominalnya berbanding lurus dengan jumlah pinjaman dan waktu, maka tetap tergolong riba. b. Pinjol Syariah Beberapa platform digital kini mengklaim beroperasi dengan prinsip syariah. Akad yang digunakan antara lain: Qardhul Hasan (pinjaman kebajikan tanpa bunga), Murabahah (jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati di awal), Ijarah (sewa jasa). Namun, perlu diwaspadai bahwa tidak semua “pinjol syariah” benar-benar sesuai syariat. Beberapa di antaranya hanya menggunakan label “syariah” tetapi tetap menerapkan margin bunga terselubung. Oleh karena itu, penting memastikan bahwa platform tersebut memiliki izin resmi dari OJK dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Baca Juga : Cara Keluar dari Riba yang Tak Pernah Diajarkan di Buku Keuangan 4. Bolehkah Berutang untuk Biaya Kuliah? Islam tidak melarang seseorang berutang, selama: Ada kebutuhan mendesak, Akadnya jelas dan halal, Ada niat dan kemampuan untuk melunasi. Rasulullah SAW pernah berutang untuk kebutuhan keluarga, namun selalu melunasinya tepat waktu. Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.”(HR. Bukhari, no. 2393) Berutang untuk pendidikan boleh, selama tidak melibatkan bunga atau tambahan riba. Bila pinjaman berasal dari lembaga konvensional yang mengenakan bunga, maka hukumnya haram, karena akadnya bertentangan dengan prinsip syariah. Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Riba menegaskan: “Tidak diperbolehkan seseorang melakukan transaksi riba, walaupun dengan tujuan kebutuhan mendesak, kecuali jika dalam kondisi darurat yang mengancam keselamatan jiwa.” Artinya, biaya kuliah bukanlah kondisi darurat yang membolehkan pelanggaran syariat, sebab tidak termasuk kategori darurat syar’iyyah. 5. Dampak Spiritual dan Sosial dari Utang Riba Selain masalah hukum, utang berbunga membawa dampak spiritual yang berat. Rasulullah SAW menyebut riba sebagai salah satu dosa besar: “Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (tingkatan dosa), yang paling ringan seperti seseorang berzina dengan ibunya.”(HR. Ibnu Majah, no. 2274) Riba juga menghilangkan keberkahan dari harta. Dalam QS. Al-Baqarah: 276, Allah berfirman: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” Orang yang membiayai pendidikannya dengan utang berbunga bisa jadi tetap lulus dan sukses secara duniawi, tetapi keberkahan ilmunya berkurang. Ia mungkin memperoleh gelar, namun kehilangan ketenangan batin dan keberkahan rezeki. Secara sosial, praktik pinjol juga menciptakan masalah baru: stres, depresi, ancaman dari penagih, dan hubungan keluarga yang retak karena tekanan utang. Semua ini merupakan dampak nyata dari sistem ekonomi yang tidak berpijak pada prinsip syariah. 6. Alternatif Solusi Halal untuk Biaya Kuliah Islam selalu menawarkan solusi yang lebih baik dan berkah. Berikut beberapa cara halal untuk membiayai kuliah tanpa terjerat pinjol riba: a. Beasiswa Pendidikan Banyak kampus, lembaga pemerintah, maupun yayasan Islam menyediakan program beasiswa. Ini termasuk bentuk hibah (tabarru’), sehingga penerimanya tidak memiliki kewajiban mengembalikan dana. b. Qardhul Hasan (Pinjaman Tanpa Bunga) Konsep ini diperbolehkan dalam Islam. Mahasiswa bisa mencari lembaga zakat, masjid, atau komunitas yang menyediakan dana sosial bergulir tanpa bunga. Peminjam hanya mengembalikan pokok pinjaman sesuai kemampuan. c. Dana Pendidikan Syariah / Crowdfunding Kini terdapat platform crowdfunding berbasis syariah yang menyalurkan donasi dari masyarakat untuk membantu biaya kuliah pelajar dan mahasiswa dhuafa. Akadnya berupa infak atau hibah, bukan utang. d. Kerja Paruh Waktu Bekerja sambil kuliah bukanlah hal tabu dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada

Zakat Emas: Kapan dan Bagaimana Anda Wajib Mengeluarkannya (Panduan Lengkap)

Kenapa Zakat Emas Penting? Zakat adalah rukun Islam ketiga, salah satu kewajiban utama seorang muslim ketika ia memiliki kekayaan yang mencapai batas tertentu. Salah satu jenis harta yang wajib dizakati adalah emas — baik dalam bentuk perhiasan, logam mulia, maupun investasi emas. Sayangnya, banyak orang bingung: apakah semua perhiasan emas wajib dizakati? Bagaimana menghitungnya? Apakah membayar dalam bentuk emas atau uang? Artikel ini hadir untuk menjelaskan secara runtut dan mudah dipahami, agar Anda bisa menunaikan zakat emas dengan benar dan penuh keberkahan. Dasar Hukum Zakat Emas Dasar utama kewajiban zakat atas emas (dan perak) berasal dari Al-Qur’an dan Hadis: Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengingatkan kaum yang menimbun emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah (QS. At-Taubah ayat 34). Dalam hadis, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menetapkan nisab berupa 20 dinar emas (setara dengan 20 mitsqâl) dan 200 dirham (perak). Nabi SAW juga bersabda: “Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqâl… dan tidak ada zakat jika perak kurang dari 200 dirham.” (HR. Ad-Daruquthni dan lainnya) Para ulama klasik dan kontemporer kemudian merumuskan tatacara, syarat, dan ketentuan praktis zakat emas berdasarkan dalil-dalil tersebut. Syarat Wajib Zakat Emas Agar seorang muslim wajib mengeluarkan zakat emas, beberapa syarat harus terpenuhi. Berikut syarat-syarat inti menurut para ulama dan referensi kontemporer: Milik Sendiri & Kepemilikan SahEmas tersebut benar-benar milik orang itu (bukan titipan, bukan utang, bukan pusaka yang belum dibagi). Telah Lewat Satu Haul (Haul)“Haul” berarti kepemilikan emas selama satu tahun Hijriyah penuh (± 355 hari). Jika emas mencapai nisab tetapi belum genap satu tahun, zakat tidak wajib sampai haul terpenuhi. Mencapai NisabEmas yang dimiliki harus mencapai atau melebihi batas minimum (nisab). Jika tidak mencapai nisab, tidak wajib zakat atas emas tersebut. Emas dalam Bentuk yang Bisa Dijual / Dicairkan / KomersialBiasanya, zakat dikenakan pada emas yang disimpan atau emas yang bisa diubah menjadi uang. Untuk perhiasan yang sehari-hari dipakai, terdapat beberapa pertimbangan ulama (apakah dikategorikan sebagai hiasan yang tidak wajib atau tetap harus dizakati), tergantung mazhab dan kebiasaan masyarakat. Tidak Ada Penghalang LainMisalnya jika harta sudah digunakan untuk kepentingan pokok (kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal) atau digunakan memenuhi kewajiban lain (hutang mendesak) – sebagian pandangan ulama menyatakan bahwa kewajiban zakat dapat dikurangi atau ditiadakan jika harta bersih setelah dikurangi kebutuhan pokok masih di bawah nisab. Baca Juga : Uang Pensiun Masuk Dompet? Begini Cara Tepat Hitung Zakat-nya Nisab Zakat Emas & Perak Nisab adalah batas minimum harta yang harus dimiliki untuk wajib zakat. Dalam konteks emas dan perak: Nisab Emas = 20 dinar = 20 mitsqâl = sekitar 85 gram emas murni (24 karat). Nisab Perak = 200 dirham = sekitar 595 gram perak murni (berdasarkan 1 dirham = 2,975 gram) Beberapa poin penting terkait nisab: Jika emas yang Anda miliki belum mencapai 85 gram, maka Anda tidak diwajibkan zakat atas emas itu. Jika Anda memiliki perhiasan yang sering dipakai, sebagian ulama memperbolehkan mengurangkan benda yang dipakai dari perhitungan; namun ada juga yang tetap memasukkannya tergantung kebiasaan masyarakat (urûf). Dalam praktik kontemporer, nilai nisab emas (dalam rupiah) harus dihitung berdasarkan harga emas per gram saat zakat dikeluarkan. Misalnya jika harga emas per gram adalah Rp 1.400.000, maka nisab emas dalam rupiah adalah 85 × Rp 1.400.000 = Rp 119.000.000 (sekitar itu) Badan Amil Zakat atau lembaga zakat pemerintah (seperti BAZNAS di Indonesia) sering merilis nilai nisab tahunan agar memudahkan umat Islam dalam menghitung kewajiban zakat mereka. Cara Menghitung Zakat Emas Setelah syarat terpenuhi—milik sendiri, haul terpenuhi, dan mencapai nisab—langkah selanjutnya adalah menghitung besarnya zakat emas. Rumus dasar: Zakat Emas = 2,5% × jumlah emas yang dimiliki (setelah haul terpenuhi) Karena 2,5% = 1/40. Langkah-langkah menghitung: Jumlah total emas yang dimiliki dalam satuan gram (pastikan dalam emas murni atau dikonversi ke kadar murni). Pastikan total emas ≥ nisab (85 gram) dan telah genap haul. Hitung 2,5% dari jumlah tersebut → ini adalah berat emas yang harus dizakati (dalam gram). Jika ingin membayar dalam uang, konversikan berat emas zakat ke nilai rupiah berdasarkan harga emas per gram saat itu. Contoh sederhana:Misalkan Anda memiliki 120 gram emas murni, dan sudah melewati satu tahun haul: Zakat: 2,5% dari 120 gram = 0,025 × 120 = 3 gram Jika harga emas saat ini = Rp 1.500.000/gram → nilai zakat = 3 × Rp 1.500.000 = Rp 4.500.000 Atau bisa langsung menghitung uangnya:120 × Rp 1.500.000 = Rp 180.000.000 → 2,5% dari Rp 180.000.000 = Rp 4.500.000. Dalam artikel Rumah Zakat ada penjelasan mirip bahwa jika perhiasan emas telah mencapai nisab dan lewat haul, maka wajib dizakati (meskipun mereka juga membahas kasus perhiasan yang dipakai). Beberapa catatan tambahan: Jika ada emas yang dipakai setiap hari (misalnya cincin), sebagian ulama memperbolehkan mengurangkan berat yang dipakai secara wajar dari hitungan zakat — namun ini tergantung mazhab dan kebiasaan lokal. Dalam konteks emas investasi (batangan, koin emas, logam mulia), wajib zakat jika memenuhi nisab dan haul. Ada juga pendekatan “urûf” (kebiasaan masyarakat): di beberapa daerah, zakat emas perhiasan hanya diwajibkan jika total perhiasan mencapai standar berat tertentu (di atas uruf). Misalnya di Singapura, MUIS menggunakan konsep bahwa jika emas perhiasan melebihi 860 gram maka wajib zakat (yang dikenal sebagai “uruf”) untuk emas yang dipakai secara rutin. Perhiasan Emas: Haruskah Dizakati? Salah satu pertanyaan paling umum: apakah perhiasan emas yang kita pakai sehari-hari juga harus dizakati? Berikut pandangan yang lebih rinci: Pendapat yang lebih umum menyatakan bahwa semua emas — baik yang disimpan atau dipakai — bila telah mencapai nisab dan haul, harus dizakati. Namun, ada pendapat bahwa jika emas dipakai secara rutin sebagai perhiasan sehari-hari (cincin, kalung, gelang), maka itu dianggap sebagai “hiasan” dan tidak masuk hitungan zakat selama tidak berlebihan — berdasar pada kebiasaan masyarakat (urûf). Beberapa lembaga resmi (terutama di luar Indonesia) membedakan antara emas untuk pemakaian dan emas investasi. Contohnya MUIS (Singapura): Jika emas dipakai (jewellery), maka harus ditaksir secara individual; jika beratnya kurang dari uruf tertentu (860 gram), zakat tidak diwajibkan. Di Indonesia, banyak lembaga zakat dan fatwa ulama menyarankan bahwa perhiasan emas tetap wajib dizakati jika memenuhi syarat (meskipun praktik mereduksi berat yang dipakai sering diterapkan di beberapa komunitas). Baca Juga : Zakat Anda, Aman Bersama Lembaga

Scroll to Top