Artikel Islami

Masih Punya Utang, Bolehkah Tetap Berkurban? Ini Penjelasan Lengkap Ulama

Pendahuluan: Makna Kurban dan Utang dalam Islam Setiap kali menjelang Idul Adha, umat Muslim di seluruh dunia diingatkan akan ibadah kurban, sebagai bentuk pengorbanan, ketakwaan, dan kepedulian sosial. Namun, muncul satu pertanyaan penting di tengah masyarakat: “Apakah seseorang yang masih memiliki utang boleh berkurban?” Pertanyaan ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan finansial, tetapi juga menyangkut keabsahan ibadah serta tanggung jawab moral dan hukum terhadap utang. Dalam kehidupan modern, utang sering kali menjadi bagian dari realitas ekonomi, entah itu untuk kebutuhan pokok, biaya kesehatan, pendidikan, hingga pembelian rumah. Di sisi lain, kurban adalah ibadah yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Maka penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui prioritas yang benar dalam menjalankan dua kewajiban ini. Artikel ini akan membahas secara lengkap bagaimana pandangan Islam terkait orang yang masih memiliki utang namun ingin berkurban, merujuk pada pendapat ulama seperti Buya Yahya dan Ustadz Abdul Somad (UAS), serta meninjau pandangan mazhab dan fatwa lembaga keislaman. Kurban: Ibadah Sunnah yang Dianjurkan Kurban adalah ibadah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) bagi umat Muslim yang mampu. Praktik ini berasal dari kisah Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, sebagai bukti kepatuhan total kepada Allah. Namun Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, dan peristiwa ini menjadi asal mula pelaksanaan ibadah kurban. Kurban dilaksanakan setiap tanggal 10–13 Dzulhijjah dan biasanya berupa penyembelihan hewan ternak seperti kambing, sapi, atau unta. Dagingnya dibagikan kepada keluarga, kerabat, dan terutama orang-orang yang membutuhkan. Keutamaan kurban antara lain adalah: Mendapatkan pahala besar dari Allah SWT Sebagai bentuk ketaatan dan ketakwaan Mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) Menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial Namun demikian, ibadah ini hanya diwajibkan kepada mereka yang mampu secara finansial. Oleh karena itu, perlu pertimbangan matang bagi mereka yang masih menanggung utang. Utang dalam Pandangan Islam: Kewajiban yang Harus Ditunaikan Utang dalam Islam bukan perkara sepele. Ia adalah kewajiban yang harus dilunasi karena menyangkut hak sesama manusia. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya sampai dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi) Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah menunda menyolatkan jenazah seseorang yang masih memiliki utang, sampai utangnya dilunasi oleh sahabat lain. Ini menunjukkan betapa seriusnya perkara utang dalam Islam. Islam mendorong umatnya untuk tidak mudah berutang, kecuali dalam kondisi darurat. Jika seseorang memiliki kemampuan untuk membayar, maka melunasi utang menjadi prioritas utama daripada melaksanakan ibadah sunnah, termasuk kurban. Namun, ada pengecualian yang akan dibahas lebih lanjut: apakah semua jenis utang menghalangi seseorang untuk berkurban? Bagaimana jika utangnya bersifat jangka panjang atau sudah ada skema pelunasannya? Baca Juga : Hukum Qurban Bagi Orang Yang Mampu Menurut Imam 4 Madzhab Penjelasan Ulama: Buya Yahya dan Ustadz Abdul Somad (UAS) tentang Utang dan Kurban 1. Buya Yahya Dalam berbagai kajian dan ceramahnya, Buya Yahya menjelaskan bahwa hukum berkurban bagi orang yang punya utang tergantung pada kondisi utangnya. Jika utangnya besar dan mendesak, atau belum ada kepastian pelunasan, maka sebaiknya tidak berkurban dulu. Utang yang menjadi kebutuhan pokok seperti untuk makan, sekolah, atau berobat, tentu harus didahulukan. Namun, jika seseorang memiliki utang namun sudah terjadwal dengan baik (misalnya cicilan rumah atau kendaraan), dan tetap memiliki kelebihan uang, maka boleh berkurban. “Kalau ada uang lebih dan tidak mengganggu kewajiban bayar utang, silakan berkurban. Tapi kalau berkurban justru membuat utang makin berat, maka jangan,” jelas Buya Yahya. 2. Ustadz Abdul Somad (UAS) UAS juga menyampaikan pandangan serupa. Dalam beberapa kesempatan, beliau menekankan pentingnya memprioritaskan hak orang lain (utang) dibandingkan dengan ibadah sunnah. “Kalau punya utang, jangan sampai berkurban tapi utangnya terbengkalai. Karena kurban itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk pamer atau gengsi,” ujar UAS. Namun, ia juga menambahkan bahwa jika utangnya tidak mengganggu cash flow dan ada kelebihan dana, maka tidak dilarang berkurban. Studi Kasus dan Skenario: Mana yang Harus Didahulukan? Studi Kasus 1: Ahmad memiliki utang Rp 5 juta untuk biaya pendidikan anaknya. Ia belum memiliki rencana jelas untuk membayarnya. Tahun ini, ia ingin membeli kambing seharga Rp 2,5 juta untuk kurban. Solusi: Ahmad sebaiknya tidak berkurban. Prioritaskan pelunasan utang terlebih dahulu karena belum ada kepastian dalam pelunasannya. Studi Kasus 2: Siti punya cicilan rumah sebesar Rp 1 juta per bulan, dan masih berjalan 5 tahun. Namun, ia menerima bonus tahunan dari kantor sebesar Rp 5 juta dan kebutuhan lainnya telah terpenuhi. Solusi: Siti boleh berkurban jika dana untuk kurban tidak mengganggu kewajiban cicilannya. Studi Kasus 3: Budi memiliki utang kepada teman sebesar Rp 1 juta yang harus dibayar akhir bulan. Saat Idul Adha tinggal dua minggu lagi, ia punya tabungan Rp 3 juta. Solusi: Budi bisa membayar utangnya dulu, kemudian melihat sisa dana. Jika cukup, ia boleh membeli kambing kurban dengan harga terjangkau. Baca Juga : Ibadah Qurban tiap tahun atau cukup sekali seumur hidup Fatwa Lembaga Islam & Mazhab Fikih Beberapa lembaga fatwa dan ulama dari mazhab fikih juga telah memberikan panduan: Mazhab Syafi’i dan Hanafi: Menyebutkan bahwa kurban hukumnya sunnah muakkadah. Jadi, tidak wajib bagi yang tidak mampu, termasuk orang berutang. Majelis Ulama Indonesia (MUI): Dalam beberapa fatwanya, MUI menegaskan bahwa mendahulukan kewajiban utang lebih utama dibandingkan ibadah sunnah. Fatwa Dar al-Ifta Mesir: Menyebutkan bahwa berkurban diperbolehkan selama utang bukan utang konsumtif dan ada kemampuan finansial. Kesimpulan dan Rekomendasi bagi Umat Muslim Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan: Utang adalah kewajiban yang harus ditunaikan segera dan lebih diutamakan dibanding ibadah sunnah. Berkurban boleh dilakukan selama tidak mengganggu pelunasan utang dan masih memiliki kemampuan finansial. Perlu niat yang lurus: jangan berkurban karena gengsi, tetapi karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Jika belum mampu, tidak perlu memaksakan diri. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan. FAQ Seputar Utang dan Kurban 1. Bolehkah berkurban dengan cara mencicil hewan kurban? Boleh, selama cicilannya tidak mengganggu kewajiban utang dan kebutuhan pokok. 2. Bagaimana jika sudah bernazar akan berkurban, tapi masih punya utang? Nazar adalah kewajiban. Jika sudah bernazar, maka wajib ditunaikan meskipun sedang punya utang. Namun bisa didiskusikan dengan ahli fikih. 3. Apakah boleh berkurban atas nama orang tua yang sudah wafat sementara kita masih punya utang? Jika utang belum lunas, sebaiknya lunasi dulu. Kurban untuk orang tua boleh jika sudah mampu. 4. Apakah hewan kurban bisa patungan? Ya, khususnya untuk sapi atau unta

THR Ludes, Tabungan Menipis? Yuk Bangkit Finansial Bareng di Bulan Syawal!

Bulan Syawal datang membawa angin segar setelah satu bulan penuh umat Islam menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Di momen ini, umat Muslim disibukkan dengan silaturahmi, open house, hingga euforia Lebaran yang penuh suka cita. Namun, setelah perayaan usai, banyak keluarga justru menghadapi kenyataan yang kurang menyenangkan: tabungan menipis, utang konsumtif bertambah, dan THR (Tunjangan Hari Raya) sudah ludes. Di tengah situasi global yang tidak menentu, dengan ancaman resesi dunia dan inflasi yang meningkat, bulan Syawal justru bisa menjadi momentum bagi keluarga Muslim untuk memulai “hijrah finansial”. Momen ini sangat tepat untuk mengevaluasi kondisi keuangan, memperbaiki kebiasaan konsumtif, dan mulai membangun pondasi keuangan keluarga yang lebih kuat dan berkah. 1. Realita Finansial Keluarga Setelah Lebaran Fenomena “kantong kering” pasca-Lebaran bukanlah hal baru. Banyak keluarga cenderung menghabiskan THR untuk kebutuhan Lebaran, mulai dari baju baru, makanan, mudik, hingga amplop untuk sanak saudara. Sayangnya, sebagian besar pengeluaran ini bersifat konsumtif dan tidak meninggalkan nilai jangka panjang. Menurut survei keuangan rumah tangga, lebih dari 60% keluarga di Indonesia mengalami defisit anggaran setelah Lebaran. Artinya, pengeluaran mereka lebih besar dari pemasukan. Belum lagi, banyak yang mengambil cicilan atau pinjaman hanya untuk memenuhi gaya hidup Lebaran. Inilah saatnya bulan Syawal dijadikan momen refleksi: bukan hanya memperbaiki hubungan sosial melalui silaturahmi, tetapi juga memperbaiki hubungan kita dengan harta yang telah Allah titipkan. 2. Evaluasi Pengeluaran Ramadhan dan Lebaran Langkah pertama untuk bangkit secara finansial adalah melakukan evaluasi keuangan. Catat seluruh pengeluaran selama Ramadhan hingga Lebaran. Pisahkan antara kebutuhan dan keinginan. Dari sana, kita bisa melihat pos mana yang terlalu besar dan perlu dikontrol di tahun berikutnya. Contoh: Pengeluaran mudik: Rp3.000.000 Baju Lebaran: Rp1.500.000 THR untuk keluarga: Rp2.000.000 Konsumsi dan hampers: Rp2.500.000 Hiburan/liburan: Rp1.000.000 Total: Rp10.000.000 Jika pendapatan atau THR hanya Rp6.000.000, artinya ada defisit Rp4.000.000 yang bisa jadi ditutupi dengan tabungan atau bahkan utang. Ini perlu dievaluasi agar tidak menjadi pola berulang setiap tahun. 3. Reset Finansial di Bulan Syawal Bulan Syawal dalam bahasa Arab bermakna “peningkatan”. Setelah Ramadhan menjadi bulan latihan spiritual dan pengendalian diri, Syawal seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas hidup, termasuk dalam hal finansial. a. Menyusun Ulang Anggaran Bulanan Mulailah dengan membuat ulang anggaran bulan Syawal dan bulan-bulan ke depan. Pastikan setiap pengeluaran sesuai prioritas. Gunakan rumus sederhana: 50% kebutuhan pokok (makan, tempat tinggal, transport) 30% tabungan/investasi 10% sedekah/zakat 10% hiburan atau kebutuhan lain b. Fokus pada Dana Darurat Jika tabungan menipis, target utama bulan Syawal adalah membangun kembali dana darurat. Idealnya, dana darurat sebesar 3-6 bulan biaya hidup. Ini penting untuk menjaga stabilitas keluarga di tengah ketidakpastian ekonomi. c. Stop Gaya Hidup Konsumtif Syawal bukan saatnya mempertahankan gaya hidup Lebaran yang boros. Kurangi makan di luar, belanja online, dan pengeluaran tidak penting. Ingat, puasa mengajarkan kita hidup sederhana. Pertahankan semangat itu! d. Lunasi Utang Konsumtif Jika ada utang kartu kredit, paylater, atau cicilan konsumtif, prioritaskan untuk segera melunasi. Beban bunga yang tinggi bisa menggerus keuangan keluarga. 4. Amalan Syawal yang Berkah dan Berdampak Finansial Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam keuangan. Ada beberapa amalan Syawal yang bisa berdampak langsung maupun tidak langsung pada keberkahan finansial keluarga: a. Puasa 6 Hari di Bulan Syawal Selain berpahala besar, puasa ini melatih kita untuk terus hidup sederhana. Ini bisa jadi rem terhadap gaya hidup boros. b. Sedekah dan Infak Rutin Meski keuangan belum stabil, jangan tinggalkan sedekah. Sedekah bisa jadi “investasi langit” yang mendatangkan keberkahan dan rezeki tak terduga. c. Membayar Zakat dengan Tepat Pastikan kita sudah membayar zakat harta jika sudah wajib. Zakat adalah pembersih harta dan salah satu jalan memperlancar rezeki. d. Silaturahmi = Rezeki Dalam hadis disebutkan bahwa menyambung silaturahmi bisa memperpanjang umur dan meluaskan rezeki. Gunakan momen Syawal untuk memperkuat jaringan sosial dan membuka peluang baru, baik usaha maupun pekerjaan. Baca juga: Kafarat nadzar, apa dan bagaimana 5. Tips Praktis Mengelola Keuangan Keluarga Setelah Lebaran Agar tidak terjebak pola “besar pasak daripada tiang” setelah setiap Lebaran, berikut beberapa tips praktis yang bisa diterapkan: a. Buat Pos Tabungan Khusus Ramadhan & Lebaran Mulailah menabung dari sekarang untuk kebutuhan Ramadhan dan Lebaran tahun depan. Sisihkan sedikit setiap bulan agar tidak mengandalkan THR 100%. b. Ajak Seluruh Keluarga Melek Finansial Libatkan pasangan dan anak-anak dalam diskusi keuangan. Ajarkan anak menabung dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. c. Gunakan Sistem Amplop atau Budgeting Digital Untuk mempermudah kontrol keuangan, pisahkan pos-pos pengeluaran bulanan. Bisa dengan amplop fisik atau aplikasi pengelola keuangan seperti Dompetku, Finansialku, atau Spendee. d. Cari Sumber Penghasilan Tambahan Gunakan skill atau aset yang dimiliki untuk mencari tambahan penghasilan. Bisa dari jualan online, freelance, atau membuka usaha kecil-kecilan. e. Ikut Program Keuangan Islami Bergabunglah dengan koperasi syariah, arisan produktif, atau investasi halal yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Baca juga: Investasi Emas Usai Lebaran: Tren atau Kesadaran Finansial Islami? 6. Menyambut Masa Depan dengan Finansial yang Lebih Sehat Bulan Syawal bukan hanya soal euforia setelah Idulfitri. Lebih dari itu, Syawal bisa menjadi titik balik untuk membangun masa depan keuangan yang lebih sehat dan berkah. Kondisi global memang sedang tidak stabil, ancaman resesi ada di depan mata. Tapi dengan manajemen keuangan yang baik, gaya hidup sederhana, dan kepercayaan pada keberkahan Allah, setiap keluarga Muslim bisa bertahan, bahkan tumbuh. Jadikan Syawal ini sebagai titik awal. Mulai dari evaluasi, ubah kebiasaan boros, perkuat amalan spiritual, dan ajak keluarga untuk tumbuh bersama. Insya Allah, langkah kecil yang dilakukan hari ini akan menjadi pondasi besar untuk masa depan yang lebih baik. Penutup: Rezeki Tak Selalu Soal Jumlah, Tapi Keberkahan Setelah Ramadhan yang penuh keberkahan, jangan biarkan Syawal berlalu begitu saja. Jadikan Syawal sebagai momentum untuk mengevaluasi dan membenahi keuangan keluarga. Ingat, rezeki yang berkah tidak selalu soal jumlah, tapi soal cukupnya, manfaatnya, dan dampaknya bagi keluarga dan sesama. Yuk bangkit finansial bareng di bulan Syawal. Niatkan sebagai bagian dari ibadah, agar setiap rupiah yang kita kelola menjadi jalan menuju ridha-Nya.

Kafarat nadzar, apa dan bagaimana

Pernah bernazar tapi ingin membatalkan nazar itu, apakah ada tebusan/Kafarat yg hrs ditunaikan? Jawaban: Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, wa ba’du. Menunaikan nazar adalah wajib, meskipun pada asalnya mengucapkan nazar ini hukumnya makruh, bahkan sebagian ulama memandangnya haram. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, إنه لا يرد شيئا ، وإنما يستخرج به من الشحيح “Sungguh nazar itu tidak dapat menolak takdir. Sungguh nazar itu keluar dari sifat kikir.” (HR. Bukhori dan Muslim) Meski pada dasarnya makruh, namun jika nazar sudah terucap, wajib ditunaikan. Allah menyebutkan diantara ciri penduduk surga adalah orang-orang yang menunaikan nazarnya. يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا Mereka menuaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.(QS. Al-Insan : 7) Jika nazar tidak mampu ditunaikan, ada kewajiban yang harus dilakukan sebagai penebusnya, yaitu menunaikan kafarot. Apakah Kafarat Nazar? Sahabat Uqbah bin Amir meriwayatkan hadis dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda: كفارة النذر كفارة اليمين “Tebusan melanggar nazar sama dengan tebusan melanggar sumpah. (HR. Muslim) Kafarat sumpah yaitu: [1] membebaskan budak. [2] memberikan makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin. [3] puasa tiga hari. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ta’ala, لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak disengaja. Tetapi Allah menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kafaratnya (jika kalian melanggar sumpah) ialah : memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kalian, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpah kalian apabila kalian bersumpah. Dan jagalah sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepad kalian agar kamu bersyukur. (QS. Al-Ma’idah : 89) Baca Juga: Investasi Emas Usai Lebaran: Tren atau Kesadaran Finansial Islami? Teknis Penunaian Kafarat Tiga kafarat di atas boleh dipilih semampunya, tidak harus dipilih secara urut. Mampunya puasa ya puasa. Mampunya memberi makan sepuluh orang miskin ya silakan. Imam Al Baghawi rahimahullah menerangkan, كل من لزمته كفارة اليمين فهو فيها مخير إن شاء أطعم عشرة من المساكين ، وإن شاء كساهم ، وإن شاء أعتق رقبة Setiap orang yang mendapat kewajiban menunaikan kafarot sumpah (dan juga nazar, pent), dia boleh memilih sekehendaknya. Jika dia ingin memilih memberi makan sepuluh orang miskin silahkan, atau memberi mereka pakaian juga silahkan, atau ingin membebaskan bedak. (Lihat : Tafsir Al Baghawi pada tafsiran surat Al-Ma’idah ayat 89 di atas) Teknisnya jika ingin membayar kafarot berupa makanan untuk sepuluh orang miskin orang: [1] Kadar makanan dan pakaian. Dijelaskan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, كل واحد كيلو ونصف من الرز أو التمر أو الحنطة كفى ذلك، وإن كسوت كل واحد قميصاً كفى ذلك Masing-masing orang miskin mendapat 1,5 kg beras atau kurma atau gandum, itu sudah cukup. Jika berupa pakaian, cukup setiap orang miskin mendapat satu baju. (https://binbaz.org.sa/fatwas/8915/كفارة-النذر-وحكمه-اذا-قيد-بالمشيىة) Mengingat di negeri kita beras merupakan makanan pokok, kafarat nazar jika berupa makanan kita tunaikan berupa beras 1,5 kg. Akan lebih afdhol jika ditambahkan lauk pauk, namun tidak wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kalian. (QS. Al-Ma’idah : 89) [2] Kafarot berupa makanan dan pakaian tidak boleh diberikan kepada satu orang miskin. Tapi harus dibagi rata kepada sepuluh orang miskin. [3] Kafarat makanan harus ditunaikan berupa makanan, tidak bisa diganti dengan uang. Karena dalam ayat yang menerangkan tentang kafarat pelanggaran sumpah di atas, tegas disebutkan “makanan”, إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ Memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kalian. (QS. Al-Ma’idah : 89). Ini berdasarkan pendapat yang kami pandang kuat diantara perbedaan pendapat ulama yang ada. Wallahua’lam bis shawab. Syekh Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan, فإن الواجب اتباع النص في هذه الأمور، ولعل للشارع نظراً لا تدركه عقولنا في هذه التعيينات التي قد يظن البعض أنها من أجل مصلحة الفقير المحضة، فيرى أن الدراهم أفضل أو أحب إلى الفقير من الإطعام فيعدل عن الإطعام إليها، ولكننا نرى أن مثل هذه الأمور يجب التوقف فيها على ما ورد به الشرع ولا يتجاوز فيها ما جاء به الشرع. Kewajiban kita dalam hal seperti ini adalah mengikuti dalil. Barangkali syariat memiliki pandangan maslahat yang tidak dijangkau oleh akal kita, dalam ketentuan-ketentuan ini. Boleh jadi sebagian kita menduga, demi semata kemaslahatan orang fakir, membayar kafarat dengan uang lebih utama dan lebih disukai si fakir daripada makanan. Sehingga memotivasinya membayar kafarat dengan uang. Namun kami berpandangan dalam masalah seperti ini, kita cukup berpegang pada penjelasan yang disebutkan oleh dalil, tidak menyimpang dari penjelasan syariat. Baca Juga : Ramadan Usai, Apa Selanjutnya? Temukan Jawabannya di Sini! Nazar yang Harus Dikafarati Semua jenis nazar, baik nazar berupa ibadah, namun dia tidak mampu menunaikannya, seperti jika dagangan hari ini habis, tahun depan saya mau umrah. Atau nazar berupa maksiat, seperti jika besuk Jumat turun hujan, saya mau nyuri durian tetangga. Hanya saja, nazar berisi maksiat, tidak boleh ditunaikan. Namun jika sudah terucap, wajib menunaikan kafarot sebagai tebusan nazar. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لا نذر في معصية وكفارته كفارة يمين Tidak sah nazar untuk bermaksiat, namun kafarotnya tetap ada, berupa kafarot sumpah. (HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Syekh Albani). Beliau shalallahu alaihi wa sallam juga menegaskan, من نذر أن يطيع الله فليطعه ، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصيه Siapa bernazar untuk beribadah kepada Allah, maka lakukanlah. Dan siapa bernazar untuk bermaksiat, maka jangan lakukan. (HR. Bukhari) Kecuali satu jenis nazar yang tidak ada kewajiban kafarat, yaitu bernazar melakukan sesuatu yang mustahil. Seperti jika nilaiku di semester ini cumlaude, aku mau jadi putri duyung atau terbang ke langit tujuh. (Lihat : Fatawa Sayabakah Islamiyah no. 1125) Sekian. Wallahua’lam bis showab. Sumber : Konsultasisyariah.com

Ramadan Usai, Apa Selanjutnya? Temukan Jawabannya di Sini!

Ramadan telah berlalu, meninggalkan jejak spiritual yang mendalam bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, menahan hawa nafsu, memperbanyak amal saleh, serta mempererat hubungan dengan Allah SWT, tibalah kita di bulan Syawal. Bulan ini dibuka dengan Hari Raya Idulfitri, momen penuh kebahagiaan dan kemenangan. Namun, di balik perayaan ini tersimpan sebuah makna besar: kembali ke fitrah. Apa sebenarnya makna kembali ke fitrah? Dan bagaimana kita menjaga semangat Ramadan agar tidak hilang begitu saja? Artikel ini akan membahas makna kembali ke fitrah, bagaimana menyikapi Syawal dengan benar, serta langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga semangat ibadah dan sosial pasca-Ramadan. Apa Itu Fitrah? Secara bahasa, fitrah berarti asal kejadian atau keadaan asli. Dalam konteks keislaman, fitrah merujuk pada kondisi suci dan bersih yang menjadi sifat dasar manusia saat diciptakan oleh Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30) Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sejalan dengan fitrah manusia. Dalam konteks Idulfitri, kembali ke fitrah berarti kembali kepada kesucian jiwa, kebersihan hati, serta kepatuhan total kepada Allah SWT. Ramadan sebagai Sarana Pembersih Jiwa Ramadan sejatinya adalah madrasah ruhani yang membersihkan jiwa dari segala kotoran dosa dan hawa nafsu. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga latihan pengendalian diri dan kesabaran. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Artinya, orang yang sungguh-sungguh menjalankan ibadah Ramadan dengan niat yang benar dan keikhlasan, maka akan kembali dalam keadaan bersih, seperti bayi yang baru lahir. Inilah yang dimaksud dengan kembali ke fitrah. Kembali ke Fitrah: Bukan Akhir, tapi Awal Sayangnya, banyak orang yang salah kaprah memaknai Idulfitri. Seolah-olah, setelah Ramadan selesai, maka ibadah dan kedekatan dengan Allah juga ikut selesai. Padahal, Idulfitri seharusnya menjadi titik tolak untuk kehidupan yang lebih baik secara spiritual dan sosial. Kembali ke fitrah adalah momen untuk menjaga kesucian jiwa yang telah dibersihkan selama Ramadan. Maka setelah Ramadan, seharusnya semangat ibadah, kepedulian sosial, dan kesungguhan menjalani syariat tetap dijaga dan ditingkatkan. Baca juga: Kafarat dalam Islam: Pengertian, Jenis, dan Dalil Al-Qur’an yang Wajib Diketahui Langkah-langkah Menjaga Semangat Pasca-Ramadan Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga semangat ibadah dan sosial setelah Ramadan: 1. Melanjutkan Ibadah Sunnah Contoh paling utama adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim) Puasa ini menjadi bukti bahwa semangat Ramadan masih hidup dalam diri seseorang. Selain puasa, perbanyak juga shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan dzikir harian. 2. Menjaga Konsistensi Ibadah Wajib Jangan sampai semangat shalat lima waktu yang rajin dijaga selama Ramadan justru kendor setelahnya. Kembali ke fitrah berarti tetap istiqamah dalam melaksanakan kewajiban utama sebagai Muslim. 3. Melanjutkan Sedekah dan Kepedulian Sosial Ramadan mengajarkan kita untuk peduli kepada sesama. Jangan biarkan semangat memberi dan berbagi hanya berhenti di bulan Ramadan. LAZISNUR sebagai lembaga amil zakat bisa menjadi wadah untuk menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah sepanjang tahun. 4. Menjaga Silaturahmi Syawal identik dengan tradisi saling bermaafan. Ini harus dijaga bukan hanya di awal bulan Syawal saja, tapi sepanjang tahun. Silaturahmi merupakan bagian dari fitrah sosial manusia yang harus dirawat. “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Bertobat dan Terus Memperbaiki Diri Kembali ke fitrah juga berarti kembali kepada Allah dengan taubat nasuha. Jadikan Ramadan sebagai titik balik untuk meninggalkan maksiat dan kebiasaan buruk. “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya…” (QS. At-Tahrim: 8) Kembali ke fitrah bukan hanya seremoni, tapi komitmen untuk hidup lebih bersih secara spiritual dan sosial. Ramadan telah membersihkan hati dan jiwa, dan Syawal adalah waktunya untuk mempertahankan dan meningkatkan kebersihan itu. Jangan biarkan semangat Ramadan lenyap begitu saja. Jadikan Syawal sebagai titik awal kehidupan yang lebih baik, lebih taat, lebih peduli, dan lebih bermanfaat.

Tips agar iktikaf khusyu dan peluang besar dapat lailatul qadar, ada yang belum tahu sepertinya

Ramadhan adalah bulan penuh berkah, dan di 10 hari terakhir terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Salah satu ibadah yang dianjurkan untuk memperoleh keutamaan malam tersebut adalah i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan meninggalkan kesibukan duniawi. Namun, agar i’tikaf benar-benar memberikan manfaat spiritual, diperlukan persiapan yang matang dan strategi agar tetap khusyuk dan nyaman selama berada di masjid. Artikel ini akan membahas berbagai tips agar i’tikaf bisa dilakukan dengan baik dan memberikan pengalaman ibadah yang maksimal. 1. Memahami Makna dan Tujuan I’tikaf Sebelum memulai i’tikaf, penting untuk memahami maknanya. I’tikaf bukan hanya sekadar menginap di masjid, tetapi memiliki tujuan utama, yaitu: Mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan ibadah. Menjauhkan diri dari gangguan duniawi seperti pekerjaan, media sosial, dan urusan dunia lainnya. Memperbanyak doa dan istighfar, terutama di 10 malam terakhir Ramadhan. Mengejar Lailatul Qadar, malam yang memiliki pahala lebih baik dari seribu bulan. Dengan memahami tujuan ini, seseorang akan lebih fokus dalam menjalankan i’tikaf dengan niat yang benar dan menghindari kesia-siaan selama berada di masjid. 2. Memilih Masjid yang Nyaman dan Sesuai Kebutuhan Tidak semua masjid cocok untuk i’tikaf, oleh karena itu pilihlah masjid yang: Menyediakan fasilitas memadai, seperti tempat wudhu yang bersih, toilet, dan ruangan yang cukup luas untuk tidur sejenak. Memiliki program i’tikaf yang terstruktur, misalnya ada kajian Islam, qiyamul lail (shalat malam), dan waktu berbuka serta sahur bersama. Memiliki suasana kondusif, tidak terlalu ramai sehingga masih memungkinkan untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah. Dekat dengan rumah, jika memungkinkan, agar lebih mudah dalam berkoordinasi dengan keluarga. BACA JUGA : Keajaiban Sedekah Ramadan: 10 Keutamaan yang Membuka Pintu Rezeki 3. Persiapan Sebelum Memulai I’tikaf Agar i’tikaf berjalan lancar dan nyaman, berikut adalah beberapa hal yang perlu dipersiapkan: a. Niat dan Persiapan Mental Niatkan dengan ikhlas hanya untuk ibadah kepada Allah. Persiapkan diri untuk mengurangi interaksi yang tidak perlu dengan orang lain. Berkomitmen untuk menghindari penggunaan HP untuk hal yang tidak bermanfaat selama i’tikaf. b. Barang yang Perlu Dibawa Al-Qur’an dan buku Islam untuk memperdalam ilmu. Sarung atau selimut ringan, untuk menjaga kenyamanan saat istirahat. Sajadah dan bantal kecil, agar lebih nyaman saat duduk atau tidur. Pakaian bersih secukupnya sesuai dengan durasi i’tikaf. Perlengkapan mandi dan kebersihan, seperti sabun, sikat gigi, handuk, dan deodoran. Makanan ringan dan air minum, untuk sahur dan berbuka jika tidak disediakan oleh masjid. 4. Mengatur Waktu agar I’tikaf Efektif Selama i’tikaf, penting untuk mengatur waktu dengan baik agar tetap fokus dan tidak kehilangan momentum ibadah. Berikut adalah contoh jadwal i’tikaf yang bisa diikuti: Malam Hari (Setelah Tarawih – Menjelang Sahur) ✅ Membaca Al-Qur’an dan mentadabburi maknanya. ✅ Melakukan shalat malam (Tahajud dan Witir). ✅ Berdoa dan berdzikir mengharap ampunan Allah. ✅ Menyimak kajian Islam jika ada di masjid. Sahur – Shalat Subuh ✅ Makan sahur secukupnya agar kuat beribadah. ✅ Shalat Subuh berjamaah. ✅ Dzikir pagi dan doa setelah Subuh. ✅ Tidur sebentar jika diperlukan untuk mengistirahatkan tubuh. Siang Hari ✅ Membantu kegiatan masjid jika diperlukan. ✅ Membaca Al-Qur’an atau buku keislaman. ✅ Tidur secukupnya agar tetap bugar. Sore – Menjelang Maghrib ✅ Shalat Ashar berjamaah. ✅ Membaca dzikir sore. ✅ Berbuka puasa bersama di masjid. Dengan jadwal seperti ini, waktu i’tikaf akan lebih terstruktur dan optimal untuk ibadah. 5. Menghindari Gangguan Selama I’tikaf Banyak orang yang gagal merasakan manfaat i’tikaf karena kurang bisa menjaga fokus. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dihindari: ❌ Terlalu sering berbicara dengan jamaah lain. Hindari diskusi yang tidak perlu agar tidak mengurangi kekhusyukan. ❌ Bermain HP atau media sosial. Gunakan HP hanya untuk membaca Al-Qur’an digital atau mendengarkan kajian online jika diperlukan. ❌ Tidur berlebihan. Tidur secukupnya agar tetap segar, tetapi jangan sampai lebih banyak tidur daripada ibadah. ❌ Terlalu sibuk dengan makan dan minum. Ingat, tujuan utama i’tikaf adalah ibadah, bukan menikmati kenyamanan dunia. BACA JUGA: Kafarat dalam Islam: Pengertian, Jenis, dan Dalil Al-Qur’an yang Wajib Diketahui 6. Memaksimalkan Malam Lailatul Qadar Malam Lailatul Qadar adalah momen yang paling dicari selama i’tikaf. Agar tidak melewatkan keutamaannya, berikut hal-hal yang bisa dilakukan: Perbanyak doa, terutama doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni” (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, mencintai keampunan, maka ampunilah aku.) Perbanyak membaca Al-Qur’an dan mentadabburi maknanya. Lakukan shalat malam dengan khusyuk dan tenang. Bersedekah, baik langsung maupun melalui lembaga sosial. 7. Manfaat I’tikaf bagi Kehidupan Melakukan i’tikaf dengan benar akan memberikan banyak manfaat, di antaranya: ✅ Mendapatkan ketenangan jiwa karena lebih dekat dengan Allah. ✅ Meningkatkan kualitas ibadah karena fokus beribadah tanpa gangguan duniawi. ✅ Meningkatkan disiplin diri dalam mengatur waktu dan konsisten dalam ibadah. ✅ Memperoleh keberkahan Lailatul Qadar, yang pahalanya lebih baik dari seribu bulan. ✅ Mendapat kesempatan untuk introspeksi diri dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Kesimpulan I’tikaf adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di 10 hari terakhir Ramadhan. Dengan niat yang ikhlas, persiapan yang matang, dan pengelolaan waktu yang baik, i’tikaf dapat menjadi momen yang sangat berharga untuk meningkatkan keimanan dan mendapatkan ridha Allah. Hindari gangguan, fokus pada ibadah, dan manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk meraih keberkahan di akhir Ramadhan. Semoga Allah memberikan kita kemudahan dan kesempatan untuk melaksanakan i’tikaf dengan khusyuk dan mendapatkan keutamaan malam Lailatul Qadar. Aamiin.

Keajaiban Sedekah Ramadan: 10 Keutamaan yang Membuka Pintu Rezeki

Keajaiban Sedekah Ramadan: 10 Keutamaan yang Membuka Pintu Rezeki Pendahuluan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, di mana setiap amal kebaikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Salah satu amalan yang sangat dianjurkan di bulan ini adalah sedekah. Sedekah di bulan Ramadan memiliki keistimewaan tersendiri karena Allah SWT melipatgandakan pahala dan membukakan pintu rezeki bagi yang melakukannya. Dalam artikel ini, kita akan membahas 10 keutamaan sedekah di bulan Ramadan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis serta bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. 1. Pahala Sedekah Diberlipatgandakan Sedekah yang diberikan di bulan Ramadan memiliki pahala yang jauh lebih besar dibandingkan di bulan lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan satu kebaikan di bulan Ramadan, maka pahalanya sama dengan pahala melakukan perbuatan yang fardhu (wajib) di selain bulan Ramadan. Dan barangsiapa melaksanakan satu perbuatan wajib di bulan Ramadan, maka pahalanya sama dengan melakukan 70 perbuatan wajib di selain bulan Ramadan.” (HR. Ibnu Khuzaimah) Allah SWT juga berfirman dalam Al-Qur’an: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261) Dengan kata lain, satu rupiah yang kita sedekahkan di bulan Ramadan bisa bernilai puluhan hingga ratusan kali lipat dibandingkan di bulan lainnya. Baca juga : 4 Ciri orang yang sukses menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 2. Sedekah Menghapus Dosa Sedekah di bulan Ramadan juga menjadi sarana untuk menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi) Bulan Ramadan sendiri adalah bulan penuh ampunan. Dengan memperbanyak sedekah, kita semakin dekat dengan rahmat Allah dan berpeluang mendapatkan ampunan dari-Nya. 3. Mendapat Naungan di Hari Kiamat Di hari kiamat, manusia akan menghadapi berbagai kesulitan. Namun, orang yang gemar bersedekah akan mendapatkan perlindungan khusus. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang akan berada dalam naungan sedekahnya pada hari kiamat hingga nasibnya ditentukan.” (HR. Ahmad) Artinya, semakin banyak sedekah yang kita lakukan di dunia, semakin besar pula perlindungan yang akan kita dapatkan di akhirat kelak. 4. Membuka Pintu Rezeki Salah satu manfaat besar dari sedekah adalah memperlancar rezeki. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah berkurang harta karena sedekah, melainkan bertambah, bertambah, dan bertambah.” (HR. Muslim) Banyak orang yang merasakan bahwa setelah bersedekah, rezeki mereka justru semakin bertambah dengan cara yang tidak terduga. Ini adalah janji Allah bagi orang-orang yang dermawan. 5. Menjauhkan dari Api Neraka Sedekah juga bisa menjadi pelindung dari siksa neraka. Rasulullah SAW bersabda: “Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan sebutir kurma.” (HR. Bukhari & Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa sedekah sekecil apa pun bisa memberikan manfaat besar bagi kehidupan akhirat kita. Baca Juga : FOMO Sedekah: Tren Kebaikan di Bulan Ramadhan yang Wajib Kamu Ikuti 6. Menolak Bala dan Penyakit Banyak orang yang percaya bahwa sedekah dapat menjadi pelindung dari berbagai musibah. Rasulullah SAW bersabda: “Bersegeralah untuk bersedekah sebab yang namanya bala tidak akan pernah mendahului sedekah.” (HR. Thabrani) Dalam kehidupan nyata, kita sering melihat orang-orang yang gemar bersedekah memiliki hidup yang lebih sehat dan bahagia. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa sedekah memang memiliki manfaat luar biasa dalam menolak bala. 7. Mendapat Pahala Seperti Orang yang Berpuasa Memberi makan orang yang berpuasa untuk berbuka juga merupakan salah satu bentuk sedekah yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang memberi makanan orang yang sedang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR. Tirmidzi) Ini berarti jika kita memberikan makanan berbuka puasa kepada 10 orang, maka kita akan mendapatkan pahala seperti berpuasa 10 hari. 8. Didukung oleh Doa Malaikat Orang yang bersedekah mendapatkan doa dari para malaikat. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali akan turun dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berkata; ‘Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya’, sedangkan yang satunya lagi berkata; ‘Ya Allah berikanlah kehancuran kepada orang yang menahan hartanya (bakhil).’” (HR. Bukhari & Muslim) Dengan demikian, orang yang gemar bersedekah senantiasa didoakan oleh malaikat agar mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Baca Juga : Persyaratan mudik yang boleh tidak berpuasa menurut Ust Adi Hidayat 9. Dijamin Mendapatkan Tempat Istimewa di Surga Bagi orang yang rajin bersedekah, Allah telah menyediakan tempat khusus di surga. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di surga ada kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalamnya dan dalamnya bisa dilihat dari luarnya. Itu disediakan bagi orang yang berkata baik, memberi makan (kepada orang yang butuh), rajin berpuasa, dan melakukan shalat di malam hari ketika manusia terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi) 10. Meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan Sedekah tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberinya. Dengan bersedekah, seseorang akan semakin merasakan nikmatnya berbagi dan semakin dekat dengan Allah. Allah SWT berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) Ayat ini menunjukkan bahwa sedekah merupakan salah satu indikator keimanan seseorang. Kesimpulan Sedekah di bulan Ramadan memiliki banyak keutamaan, mulai dari pahala yang berlipat ganda hingga membuka pintu rezeki dan memberikan perlindungan di hari kiamat. Dengan bersedekah, kita tidak hanya membantu sesama tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan keberkahan dalam hidup. Maka, marilah kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan memperbanyak sedekah agar kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita dan melipatgandakan pahala kita. Aamiin.

Scroll to Top